Telepon genggam di meja tiba-tiba berbunyi ketika saya tengah duduk
santai usai makan siang bersama keluarga.”Tolong buka email dan segera
meluncur ke lokasi. Kalo ada yang belum jelas hubungi kantor,” tulis
pesan pendek di telepon saya yang ternyata berisi penugasan liputan dari
kantor.
Komputer di kamar pun langsung saya hidupkan untuk membuka internet.
Email terbaru dari kantor ternyata berisi informasi adanya seorang
tukang becak yang mangadu ke kantor redaksi kami di Jakarta karena telah
kehilangan anak gadisnya yang masih berusia 18 tahun. Tukang becak itu
mengaku anak kesayangannya itu telah menjadi korban penipuan dan sudah
sepekan lebih dipekerjakan sebagai pelacur di sebuah tempat hiburan
malam.
Berbekal data berupa foto dan ciri-ciri sang gadis sesuai yang dikirim
via email itu, saya langsung berkemas-kemas. Seperti biasa, setiap
liputan ke luar kota saya ditemani Hamid, jurnalis media lokal yang
sering menjadi partner saya liputan. Setelah berlayar menggunakan jasa
penyeberangan kapal ferry selama satu setengah jam, saya tiba di
pelabuhan laut kota “K”, kota kecil yang memiliki sejumlah tempat
hiburan malam karena sering dikunjungi wisatawan dari Singapura dan
Malaysia.
Karena misi kami tidak hanya liputan, kami sengaja memilih menginap di
hotel yang berlokasi di tengah kota. Sambil menunggu malam tiba, sore
itu kami melakukan survey pendahuluan dengan meluncur ke lokasi diskotik
“G” , berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat kami menginap. Tak
lupa kami mengontak teman dekat, seorang anggota TNI, untuk melaporkan
misi kami sekaligus minta bantuan pengamanan jarak jauh.
Bantuan pengamanan ini kami perlukan karena mucikari sekaligus pemilik
diskotik yang bakal menjadi sasaran kami, dikenal sangat ‘galak’ ,
berduit banyak dan tak takut dengan polisi. Pernah suatu ketika, sang
mucikri wanita itu berurusan dengan polisi karena terindikasi tindak
pidana. Saat datang ke kantor polisi, sang mucikari bertubuh gendut itu
bukannya memberi keterangan terkait kasus yang disangkakan, malah
mencak-mencak petentengan memaki-maki anggota polisi yang memanggilnya.
***
Malam pun tiba. Usai makan malam di pujasera, kami meluncur ke diskotik
“G” yang dikenal sebagai diskotik terbesar di kota itu. Selain tempat
disko yang dilengkapi dengan layanan aneka jenis minuman keras, tempat
dugem ini juga menyediakan para pramuria untuk melayani pengunjung.
Sudah menjadi rahsia umum, pramuria di tempat ini berprofesi ganda.
Melayani para pengunjung untuk berdisko, sekaligus bisa juga melayani
para tamu untuk berhubungan intim alias pelacur.
“Saya minta jus wortel aja,” kata saya menjawab seorang pelayan yang
menyodorkan famlet berisi daftar aneka minuman dan makanan kecil. “Kalo
butuh cewek silakan pilih sendiri bang,” kata pelayan itu sambil
menunjukkan sebuah ruangan dengan kaca tembus pandang. Di dalam ruangan
itu, duduk berjajar puluhan pramuria dengan dandanan menor dan siap
melayani tamu.
Malam itu, kami memilih duduk di satu meja dengan tiga kursi di pinggir
arena disko, persis di depan ruangan etalase yang memamerkan kemolekan
para pramuria . Sementara di arena disko, nampak puluhan pasang muda
mudi asyik berjoget di bawah gemerlap lampu diskotik dengan dentuman
musik yang memekakkan telinga. Saya tak menghiraukan alunan musik itu.
Saya terus terngiang dengan wajah Aliya (bukan nama sebenarnya), anak
tukang becak korban penipuan yang dipekerjakan sebagai pelacur di
diskotik ini.
Sambil minum just wortel dan kentang goreng, mata saya terus melirik ke
deretan pramuria yang tengah menunggu tamu sambil nonton televisi. “Nah,
itu dia,” bisik saya kepada Hamid sambil mengingat ciri-ciri dan foto
wajah Aliya. Lewat bantuan pelayan, pramuria itu kami panggil Setelah
kami ajak ngobrol sambil minum di meja, pramuria ini memang benar Aliya,
anak tukang becak itu. “Abang dari Jakarta ya. Terima kasih bang,”
bisik Aliya kepada saya setelah kami saling berkenalan.
Aliya mungkin merasa perlu berterima kasih karena ada orang yang akan
memberi pertolongan setelah sepekan lebih terjebak dalam genggaman
mucikari. Lewat bantuan telpon genggam yang dimpinjam dari tamunya
jualah, beberapa hari lalu Aliya menelpon orang tuanya di Jakarta
memberi tahu bahwa dia telah menjadi korban penipuan dan dipekerjakan
sebagai pelacur di tempat ini.
Seperti prosedur yang harus ditempuh para tamu diskotik pada umumnya,
untuk bisa membawa pramuria ke luar, harus boking dengan tarif 300 ribu
rupiah per malam. Setelah semua persyaratan kami penuhi, kami berhasil
memboyong Aliya keluar diskotik dan langsung kami sembunyikan di kamar
hotel. “Kalo mau makan langsung pesan dari kamar aja, gak usah makan
diluar, bahaya.” pesan Hamid kepada Aliya yang memang belum paham
situasi di kota itu. Kami pun langsung meninggalkan Aliya untuk kembali
ke kamar hotel tempat kami menginap.
***
Usai sarapan pagi, kami kembali menemui Aliya untuk wawancara tentang
kisah perjalanan panjang yang ia alami, sejak meninggalkan Jakarta
hingga terperangkap ke pelukan mucikari diskotik “G”. Saat wawancara
tengah berlangsung, kami dikejutkan dengan suara seorang wanita
berteriak lantang sambil marah-marah di halaman hotel. Dari jendela
kamar, nampak wanita itu dikawal sejumlah body guard menuju lobby
hotel..
“Mana wartawan itu, mana wartawan itu,” ujar wanita itu dengan lantang.
Kami semua terbelalak ketakutan melihat kedatangan wanita yang ternyata
mucikari diskotik “G” itu. Dengan mata pelototan kesana-kemari, mulut
mucikari itu terus ngomel dengan menyebut sederetan penghuni kebun
binatang.
Meski merasa ketakutan dan berkeringat dingin, saya terus berusaha
menangkan Aliya yang juga ketakutan. Sedangkan Hamid terus menghubungi
tentara teman dekat kami untuk mendapat pengamanan jarak jauh. “Kita
disuruh nunggu disini aja, tidak perlu khawatir” kata Hamid menirukan
pesan temannya dari luar.
Dalam kondisi terancam dan panik, kami harus cepat mengambil keputusan.
Kalau sempat salah mengambil keputusan, bisa-bisa mucikari dan
bodyguardnya itu masuk ke kamar kami dan pasti akan terjadi keributan.
Jangankan menghadapi kami, melawan polisi pun mucikari itu tidak ada
rasa takut.
Setelah diskusi sejenak, kami putuskan telpon minta bantuan rekan
tentara untuk meminjam satu set busana muslimah milik istrinya, lengkap
dengan jilbab penutut kepala. Lewat kurir pelayan hotel, busana muslimah
dan jilbab pinjaman itu pun tiba di kamar hotel.
Tanpa mencopot baju dan celana yang dipakainya, Aliya langsung kusuruh
memakai busana muslimah dan mengenakan jilbab di kepalanya. Bekas make
up wajahnya yang masih nampak menor, saya minta agar dihilangkan dan
diganti make up yang lebih natural. Dengan tampilan barunya ini, sosok
Aliya nampak berubah total meski hanya berdandan dalam waktu beberapa
menit.
Sementara Hamid, teman saya, meski juga harus berdandan, tapi tak perlu
waktu lama. Tak seperti wartawan umumnya yang terkadang tak menghiraukan
penampilan. Setiap keluar rumah, Hamid pasti berpenampilan necis.
Selalu mengenakan baju dan celana formal yang diseterika licin. Bahkan
ia sering hati-hati meniup abu rokok yang kadang jatuh di lengan
bajunya.
Mengenakan kacamata hitam sebagai penyamaran, Hamid mengajak Aliya
keluar kamar. Dengan langkah santai, keduanya turun tangga ke lantai
satu, kemudian keluar menuju pintu belakang hotel. Sang mucikari masih
nampak duduk-duduk di lobby hotel. Melihat Hamid dan Aliya melintas di
jalan samping tempat duduknya, sang mucikari hanya memandang sekilas.
Entah apa yang terlintas di benaknya. Tak ada reaksi berlebihan. Maklum,
meski suku melayu asli, postur tubuh Hamid tinggi dan besar. Wajahnya
mirip orang arab. Berambut keriting dengan kumis melintang. Kami sering
menyebutnya sebagai raja minyak. Karena penampilan itulah, mungkin sang
mucikari mengira Hamid dan Aliya sebagai turis asal Timur Tengah yang
sedang berlibur bersama anaknya..
“Alhamdulillah,” itulah kalimat yang saya ucapkan setelah menerima
telpon dari Hamid yang mengabarkan dirinya dan Aliya telah lolos dari
“terkaman” mucikari dan sudah berada di tempat persemunyian yang aman.
Setelah meminta bantuan teman kenalan untuk membereskan administrasi
hotel, saya pun ikut menyusul mereka yang ternyata bersembunyi di rumah
rekan tentara yang baik hati itu.
Di rumah itulah akhirnya Aliya bercerita panjang lebar tentang nasib
buruk yang nyaris merampas masa depannya. Selama sepekan lebih bekerja
di diskotik “G” misalnya, ia mengaku telah kehilangan kegadisannya .
Tiap malam ia diharuskan melayani para lelaki hidung belang dengan
bayaran 300 ribu rupiah sekali boking.Sayangnya, uang itu tidak sepeser
pun dinikmatinya karena semuanya diminta sang mucikari. “Katanya saya
sudah memiliki hutang banyak. Mulai pengganti biaya transportasi,
penginapan hingga makan sehari-hari,” jelas Aliya menirukan sang
mucikari ketika menjelaskan alasan dirinya terjerat hutang.
Cerita Aliya yang menyayat hati itu, membuat istri tentara yang
mendengarnya tak mampu membendung air mata. Berulang kali ia menyeka air
matanya saat mendengarkan Aliya mengisahkan nasib sial yang menimpanya.
Akhirnya, ketika Aliya hendak berpamitan pulang, istri tentara itu
merelakan busana muslimah kesayangannya yang dipinjamkan kepada Aliya,
agar tetap dikenakan Aliya untuk pulang ke Jakarta. Bahkan ia menambah
lagi kenang-kenangan sebuah jilbab putih yang baru saja dibelinya plus
uang saku. “Hati-hati di jalan ya Aliya, anggap keluarga kami sebagai
keluargamu juga,” pesan istri tentara itu saat melepas jabat tangan
Aliya sambil sesenggukan menahan tangis. Kami pun berpamitan pulang
sekaligus mengantar Aliya ke bandara.
***
Keesokan harinya, saat saya sudah di rumah bersama keluarga, saya
istirahat di depan televisi. Hati saya terharu dan senang sekali ketika
menyaksikan tayangan berita Aliya sedang berpelukan dengan keduaorang
tuanya setibanya di Jakarta. Kedua orang tua Aliya menyambut kedatangan
anak kesayangannya dengan derai airmata yang tak habis-habisnya.
Anakgadis yang sempat menghilang lebihsepekan kini kembali dipelukannya.
Meski badannya mungkin masih kelelahan setelah kerja rutin mengayuh
becak, perjumpaan bapak-anakitu menampakkan sorot mata sukacita yang
terkira sebelumnya.
Kini setelah sepuluh tahun lebih peritiwa dramatis itu berlalu, saya
hanya bisa berharap semoga Aliya bisa melupakan masa lalunya yang kelam
dan bisa membangun masa depan lebih baik bersama keluarganya. Tentu
dengan harapan tetap terus konsiten mengenakan busana muslimah dan
jilbab, busana yang menambah anggun penampilannya dan pernah mengecoh
mucikari yang pernah menjeratnya itu.
Berbahagialah Aliya***
WE WELCOME YOU TO THE DREAMING WORLD
Awalnya saya ga ngerti buat apa kita punya, sebenarnya apa sih manfaat blogging ? nah saking penasarannya sama blog, akhirnya saya mulai utak-atik blog, bagi teman-teman blogger yang sudah pengalaman di dunia blogging saya minta petunjuk donk ato tips n trik tentang Blog,,
Aq tunggu commentnya yaa...
*******************************************************************************************************************************************************************************************
Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan.
Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.
Dalam hidup,terkadang kita lebih banyak mendapatkan apa yang tidak kita inginkan. Dan ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, akhirnya kita tahu bahwa yang kita inginkan terkadang tidak dapat membuat hidup kita menjadi lebih bahagia.
by: arief wirawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar